Hukum hakim perempuan dalam Perkara Perdata menurut pemikiran tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama' di Jawa Timur

This item is published by Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Fahrur, Amam (2019) Hukum hakim perempuan dalam Perkara Perdata menurut pemikiran tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama' di Jawa Timur. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.

[img] Text
Amam Fahrur_C01212066.pdf

Download (3MB)

Abstract

Skripsi yang berjudul Hukum Hakim Perempuan Dalam Perkara Perdata Menurut Pemikiran Tokoh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ di Jawa Timur ini adalah hasil penelitian wawancara tokoh untuk menjawab pertanyaan bagaimana pendapat tokoh Muhammadiyah dan Tokoh Nahdlatul Ulama’ di Jawa Timur tentang hakim perempuan dalam memutuskan perkara perdata. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif, dimana data penelitian dihimpun melalui wawancara dan selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis-deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa menurut tokoh Majlis Tarjih Muhammadiyah membolehkan seorang wanita menjadi hakim perdata yang tentu sesuai dengan keahlian dibidangnya, tokoh Muhammadiyah menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya peran yang sama dalam kehakiman, dimana keduanya sama-sama punya peran untuk menegakkan keadilan dan beramar ma’ruf nahi munkar. Sehingga perempuan dipandang boleh untuk menjadi hakim perdata. adapun menurut tokoh Nahdlatul Ulama’ membolehkan seorang perempuan menjadi hakim perdata dengan alasan adanya pendapat ulama terdahulu yang juga membolehkan seorang perempuan menjadi hakim perdata, dalam konteks kekinian perempuan dianggap mampu untuk berkompetisi dengan laki-laki, bisa dilihat dari adanya seorang perempuan menjadi hakim sebagai sebuah fakta. Adapun adanya pendapat ulama yang melarang perempuan menjadi hakim, maka hal itu harus dijadikan pertimbangan, dimana diambil jalan tengah bahwa perempuan sebaiknya tidak mengambil jabatan sebagai seorang hakim ketua, tetapi menjadi hakim anggota saja, jika memang sudah ada perempuan menjadi hakim, maka berlaku alasan li al-ḍarūri. Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka seorang perempuan diperbolehkan menjadi seorang hakim apabila memenuhi syarat dan ahli dibidangnya. Akan tetapi jika memang banyak laki-laki yang mampu untuk menjadi seorang hakim, maka harus diprioritaskan, kecuali jika memang tidak ada atau sedikit yang mampu, wanita diperbolehkan menjadi hakim dengan alasan li al-ḍarūri,

Statistic

Downloads from over the past year. Other digital versions may also be available to download e.g. from the publisher's website.

Item Type: Thesis (Undergraduate)
Creators:
CreatorsEmailNIM
Fahrur, Amamamam041193@gmail.comC01212066
Contributors:
ContributionNameEmailNIDN
Thesis advisorSumarkan, SumarkanUNSPECIFIEDUNSPECIFIED
Subjects: Hukum > Hukum Perdata Islam
Keywords: Hakim Perdata; Majelis Tarjih Muhammadiyah; Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama’
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > Hukum Keluarga Islam
Depositing User: Fahrur Amam
Date Deposited: 01 Aug 2019 01:17
Last Modified: 01 Aug 2019 01:17
URI: http://digilib.uinsa.ac.id/id/eprint/32986

Actions (login required)

View Item View Item