This item is published by Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Zahroh, Fathimatuz (2023) Mahar Jasa di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep Perspektif Imam Abū Ḥanīfah (80-150 H) Dan Imam Syāfi‘Ī (150-204 H). Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Text
Fathimatuz Zahroh_C75219033_OK.pdf Download (1MB) |
Abstract
Mahar memag tidak termasuk syarat dan rukun nikah, namun apabila seorang laki-laki ingin menikah diwajibkan memberikan mahar kepada calon istrinya. Syariat Islam tidak mengatur secara spesifik terkait jumlah minimal mahar. Di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep terdapat pemberian mahar jasa oleh seorang suami kepada istrinya, hal tersebut sejalan dengan pendapat Imam Abū Ḥanīfah dan Imam Syāfi‘ī tentang boleh dan tidaknya memberikan mahar jasa. Skripsi ini menjawab pertanyaan yang terdapat dalam dua rumusan masalah: bagaimana praktik mahar jasa di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep; dan bagaimana analisis komparatif perspektif Imam Abū Ḥanīfah dan Imam Syāfi‘ī tentang mahar jasa di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Penelitian ini merupakan penelitian field research, yang mana data yang diperoleh menggunakan wawancara dan dokumentasi, selanjutnya data tersebut disusun secara sistematis sehingga menjadi data yang konkrit mengenai mahar jasa di Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis menggunakan teknik komparatif dengan perspektif Imam Abū Ḥanīfah dan Imam Syāfi‘ī. Hasil penelitian ini menyimpulkan: pertama, praktik mahar jasa di Kecamatan Pragaan ada beberapa bentuk: satu; bacaan surah yāsin tiga kali setiap malam setelah salat maghrib sampai istrinya hamil anak pertama, kedua; bacaan surah Maryam, dibaca dalam dua waktu. Ayat 1-38 dibaca di hadapan tamu undangan setelah akad nikah, ayat 39-98 dibaca pada malam setelah tasyakuran pernikahannya, ketiga; bacaan surah Al-Baqarah satu juz, dibaca pada malam hari pasca resepsi pernikahannya. Kedua, menurut Imam Abū Ḥanīfah mahar jasa di Kecamatan Pragaan tergolong fasad (rusak), karena pada prinsipnya mahar haruslah berupa harta atau barang berharga lainnya, sehingga mahar jasa tidak dianggap sebagai mahar. Sedangkan menurut Imam Syāfi‘ī mahar jasa di Kecamatan Pragaan dibenarkan, karena menurutnya setiap sesuatu yang memiliki harga dan bermanfaat bisa dijadikan mahar. Dalam berpendapat tentang mahar jasa tersebut, Imam Abū Ḥanīfah dan Imam Syāfi‘ī sama-sama menggunakan firman Allah surah An-Nisa’ ayat 24, namun keduanya berbeda dalam menafsirkannya. Selain menggunakan ayat Al-Qur’an juga menggunakan hadis Nabi saw, tetapi keduanya memakai hadis dengan sanad dan matan yang berbeda.Sejalan dengan hasil penelitian di atas, penulis menyarankan: pertama, seharusnya orang tua memberikan kewenangan penuh kepada anaknya untuk menentukan mahar pernikahannya. Kedua, seorang wanita hendaklah memberikan kemudahan dalam permintaan mahar, karena Islam sendiri menyenangi kemudahan. Syariat Islam tidak mengatur secara pasti tentang jumlah mahar, akan tetapi Islam menganjurkan agar segala sesuatu yang dijadikan mahar tidak berlebihan serta memiliki manfaat dan tidak menyalahi syariat.
Statistic
Downloads from over the past year. Other digital versions may also be available to download e.g. from the publisher's website.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) | ||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Creators: |
|
||||||||
Contributors: |
|
||||||||
Subjects: | Maskawin | ||||||||
Keywords: | Mahar; perkawinan; | ||||||||
Divisions: | Fakultas Syariah dan Hukum > Perbandingan Madzhab | ||||||||
Depositing User: | Fathimatuz Zahroh | ||||||||
Date Deposited: | 19 May 2023 01:12 | ||||||||
Last Modified: | 19 May 2023 01:12 | ||||||||
URI: | http://digilib.uinsa.ac.id/id/eprint/62418 |
Actions (login required)
View Item |